Ketegangan perdagangan yang berlangsung antara China dan Amerika Serikat membuat Negeri Tirai Bambu mengalihkan fokusnya ke Asia Tenggara. Melalui pendekatan ekonomi, infrastruktur, hingga kerja sama budaya, China menyusun strategi untuk memperkuat pengaruh dan reputasinya di kawasan yang terus berkembang ini.
Perang Dagang Jadi Titik Balik Strategi
Perang dagang yang dimulai sejak 2018 menyebabkan penurunan signifikan dalam ekspor China ke Amerika Serikat. Tarif impor yang tinggi memaksa banyak perusahaan China merelokasi operasi mereka ke negara-negara Asia Tenggara demi efisiensi biaya dan menjaga kelangsungan produksi.
Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Thailand menjadi pilihan utama karena ketersediaan tenaga kerja, infrastruktur dasar yang memadai, serta posisi geografis yang strategis.
Belt and Road Initiative: Wajah Baru Kekuatan China
Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) menjadi ujung tombak China dalam memperkuat pengaruh di kawasan ASEAN. Melalui program ini, China menanamkan dana besar ke berbagai proyek infrastruktur seperti pelabuhan laut dalam, jaringan kereta api, jalan raya, dan pembangkit energi.
Contoh konkret bisa dilihat dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dibiayai oleh pinjaman dari China Development Bank dan melibatkan perusahaan konstruksi China sebagai pelaksana proyek. Laos juga menjadi sorotan setelah menyelesaikan jalur kereta api yang menghubungkan negara itu dengan provinsi Yunnan di China.
Soft Power: Bahasa dan Budaya Jadi Senjata
Tak hanya fokus pada pembangunan fisik, China juga memperluas pengaruhnya melalui soft power. Beasiswa untuk pelajar dari Asia Tenggara ke universitas ternama di China, pembukaan Institut Konfusius, serta pertukaran budaya menjadi sarana untuk menanamkan kedekatan sosial.
Strategi ini dianggap efektif dalam menciptakan jaringan alumni dan tokoh lokal yang memiliki pengalaman langsung dengan budaya dan sistem pendidikan Tiongkok, sehingga lebih mudah menjalin relasi bilateral di masa depan.
Tantangan dan Kewaspadaan ASEAN
Meski banyak negara menyambut baik kerja sama ini, kekhawatiran tetap ada. Isu ketergantungan finansial dan risiko kontrol strategis oleh China menjadi pembahasan yang sering muncul di parlemen negara-negara ASEAN. Selain itu, transparansi proyek dan dampaknya terhadap lingkungan lokal juga menjadi sorotan.
Namun sebagian besar pemimpin negara ASEAN memilih pendekatan seimbang, yakni menerima kerja sama China sambil tetap mempertahankan hubungan erat dengan Amerika Serikat, Jepang, dan mitra global lainnya.
Kesimpulan
China menggunakan strategi komprehensif untuk menarik simpati dan kepercayaan Asia Tenggara, baik melalui investasi fisik maupun hubungan budaya. Di tengah perang dagang yang membatasi ruang geraknya dengan Barat, kawasan ASEAN muncul sebagai kunci penting bagi kelangsungan pengaruh global China di masa depan.